Memahami Falsafah Ibu Bumi Bapa Angkasa Dalam Budaya Jawa
Masyarakat Jawa dalam memahami hidup dan kehidupannya memiliki beragam pola ungkapan untuk menyampaikan konsep hidupnya yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Salah satu ungkapan yang sering didapati di tengah masyarakat Jawa adalah “Ibu Bumi-Bapa Angkasa”.
Mengapa bumi disebut Ibu dan Angkasa disebut Bapa atau Bapak oleh orang Jawa?
Dari ungkapan “Ibu Bumi-Bapa Angkasa” ini, biasanya dikaitkan dengan pemahaman tentang asal mula kejadian manusia dan tujuan hidup manusia. Atau sering dikenal dengan istilah Sangkan Paraning Dumadi. Ini sebuah ungkapan sederhana namun bila diselami lebih jauh, mengandung konsep yang sangat realistis dan makna mendalam yang menjelaskan tentang asal mula hidup dan kehidupan manusia.
Seperti diketahui dalam tradisi jawa, kesadaran akan hidup dan kehidupan sering kali diungkapan dalam beragam bentuk simbolik untuk menyampakaikan suatu makna. Dan simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari kenyataan hidup sehari-hari disekitarnya. Maka ketika hendak memaparkan tentang asal usul kejadian manusia, lahirlah ungkapan simbolik berupa “Ibu Bumi- Bapa Angkasa” ini.
Ibu Bumi
Bumi atau dunia sebagai tempat kita dilahirkan dan tempat tinggal seluruh makhluk hendak memiliki sifat-sifat keibuan, yaitu belas kasih, panjang sabar, lemah lembut, dan murah hati.
Sebagai lambang keibuan, bumi memiliki rahim yang mengandung biji-bijian dan akan melahirkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan berbagai macam bijih dan mineral yang terkandung di dalamnya, dan itu semua hendak disediakan bagi seluruh makhluk yang hidup di dalamnya.
Jadi, bumi itu kaya dan murah. Semua orang berhak menikmati kekayaan dan kemurahan bumi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Oleh sebab itu bumi yang seharusnya menyejahterakan kehidupan insan ini tidak boleh dieksploitasi semena-mena melainkan harus kita jaga dan pelihara kelestariannya.
Bumi sebagai tempat hidup memiliki kesabaran yang luar biasa. Kotoran dan sampah yang dibuang oleh setiap insan hendak diurai dan dinetralkan kembali. Hanya saja, karena kemajuan teknologi banyak limbah yang untuk menetralisirnya kembali membutuhkan waktu yang lama, hingga ratusan tahun.
Kita mencintai bumi ini sebagai Ibu yang berbelas kasih. Jangan membuatnya penuh polusi dan rusak binasa.
Kadang-kadang, ungkapan Ibu Pertiwi juga selalu dikait-kaitkan dengan mitos Dewi Sri, Dewi Padi. Selain itu, dalam ajaran agama Hindu, Ibu Pertiwi juga dikenal sebagai selah satu Dewi sakti, Dewi Pethivi yang memiliki arti Dewi Bumi, atau Dewi Kehidupan
Bapa Angkasa
Angkasa, cakrawala atau langit oleh seumumnya orang Jawa dilambangkan sebagai Bapa atau Bapak.
Angkasa memiliki sifat laki-laki yang jauh langkah dan jangkauannya serta perkasa jiwa-raganya.
Dari sifat keperkasaan dan keadilannya, Angkasa hendak menurunkan hujan bagi bumi agar semua yang tumbuh di bumi menuaikan hasil berupa biji-bijian bunga-bungaan, buah-buahan, dedaunan, dan sebagainya itu untuk makanan makhluk di bumi.
Langit, udara itu juga harus dijaga kebersihannya agar bebas polusi dan tidak merugikan kehidupan makhluk di bumi. Jika insan tidak ramah, alam pun akan marah.
Hidup ini unik dan misteri. Alam semesta serupa buku raksasa yang mesti kita baca dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan.
Sungguh bijak filosofi Jawa ini yang menyatakan Bumi sebagai Ibu dan Angkasa sebagai Bapak. Dalam tradisi selamatan di Jawa keduanya dihormati dengan menyebutnya “Ibu Bumi Bapa Angkasa.”
Keduanya dihormati dan dijaga kelestariannya agar hidup setiap insan yang ada di dalamnya, yang terikat oleh ruang dan waktu ini beroleh hidup yang selamat, damai dan sejahtera.
Bahkan dalam masyarakat Jawa ikatan manusia dengan bumi sejatinya sudah dimulai sejak manusia lahir. Seorang bayi yang telah lahir ia mulai dikenalkan dengan bumi. Hal ini erat dengan tradisi Jawa, Tedak Siten. Tedak berarti “melangkah”, dan Siten berasal dari kata Siti yang artinya “tanah atau bumi”. Jadi, Tedak Siten memiliki makna “melangkah di bumi”.
Falsafah masyarakat Jawa sejatinya sudah cukup untuk mengingatkan kita bagaimana selayaknya manusia hidup dengan alam. Falsafah tersebut dapat dipahami sebagai rambu-rambu. Semua langkah yang manusia lakukan akan berdampak pada alam.
Namun, dengan rambu-rambu tersebut manusia dapat memaksimalkan alam dengan semesitnya. Mengambil hasil alam secukupnya. Memperlakukan alam sewajarnya.
Ungkapan Ibu Bumi dan Bapa Angkasa merujuk pada sikap yang harus manusia jaga dalam memperlakukan alam semesta. Dengan menganggap bahwa bumi adalah ibu kita, serta angkasa adalah ayah kita, maka sudah semestinya kita menjaga sikap agar alam tetap terjaga.
Ibu Bumi dan Bapa Angkasa merupakan sebuah pemikiran bahwa alam semesta dapat menjelma menjadi sebuah kekuatan gaib ang dapat memberikan rasa nyaman dan dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat Jawa.
Buah pemikiran ini menunjukan bagaimana sebaiknya manusia bersikap tenang dan baik dalam segala hal, mengambil secukupnya di alam, serta menjaga dan melestarikan alam semesta dengan sebaik-baiknya.