Rejeki Sudah Ada Yang Mengatur , Manusia Yang Kurang Bersyukur (Kisah Kang Gimin dan Lek Mardi) -->

Rejeki Sudah Ada Yang Mengatur , Manusia Yang Kurang Bersyukur (Kisah Kang Gimin dan Lek Mardi)

bersyukur

Kang Gimin dan Lek Mardi adalah kakak beradik dari 10 bersaudara. Sepuluh bersaudara itu hidup rukun, guyub, rumahnya berderet-deret di satu dusun. Maklum, orang tua Kang Gimin dan Lek Mardi dulu adalah orang paling kaya dan terpandang di dusun Ringinpitu. Salah satu orang yang pertama kali bisa naik haji ke mekah di Desa Mulyarejo.

Kecerdasan otak Mbah Bugel, bapak Kang Gimin dan Lek Mardi, dalam bertani, berdagang dan beternak diakui banyak orang. Tak heran, jika luas tegalan dan sawahnya berhektar-hektar luasnya. Sabuk Galengan , istilahnya, kata orang-orang dusun.
Tetapi, sepeninggal Mbah Bugel dan kedua istrinya, sawah dan tegalan itu harus dibagi rata kepada ke sepuluh anaknya dan juga kepada anak-anak sambung dari istri kedua Mbah Bugel. Akibatnya, Kang Gimin dan Lek Mardi hanya kebagian sepetak sawah, sepetak tegalan, dan sebidang tanah untuk membangun rumah sederhana yang kini mereka tempati.
Sebenarnya, hidup hanya dengan bersandarkan pada penghasilan dari sepetak sawah yang panen padi setahun dua kali dan panen kedelai setahun sekali itu, serta sepetak tegalan yang hanya bisa ditanami telo itu, tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.


Tetapi falsafah hidup orang-orang Jawa mengajarkan ‘kudu nerimo ning pandum’ serta ‘mangan ora mangan sing penting kumpul’. Sebagai, manusia haruslah ridho menerima, seberapa pun rizki yang telah dibagikan Gusti Allah dengan takaranya masing-masing.
Diatas materi, ada yang harus lebih diutamakan yaitu keguyuban, kebersamaan hidup dengan keluarga. Leluhur orang Jawa sangat percaya bahwa rejeki setiap orang itu sudah ada takeran, takaranya sendiri-sendiri, punya jatahnya sendiri-sendiri, yang tidak akan pernah tertukar sama rejeki orang lain. Kalau sudah rejeki, tak akan lari kemana.
Karenanya, Kang Gimin dan Lek Mardi bersama 8 saudara lainya, dan juga bersama orang-orang dusun pada umumnya, memilih hidup sederhana di kampung. Bekerja keras, dari selepas sholat subuh sampai waktu duhur, berlanjut lagi selepas sholat duhur hingga senja datang. Mengolah tanah-tanah peninggalan leluhur mereka dengan sepenuh hati, meskipun harus bermandikan peluh, di bawah terik sinar matahari.


Mereka tidak mengenal yang namanya hari libur akhir pekan apalagi yang namanya tanggal merah. Buat mereka, setiap hari-hari adalah sama. Mereka hanya makan dari makanan yang mereka tanam sendiri dan yang disediakan gratis oleh alam. Hidup guyub, orang sedusun serasa seperti saudara kandung sendiri, saling asah asih dan asuh, dalam harmoni alam pedesaan yang subur.
Walaupun jauh dari makhluk bernama kemewahan hidup, tetapi kebahagiaan begitu melimpah ruah di dusun ringin pitu. Tak ada perasaan iri hati dengan tetangga, yang ada adalah hasrat untuk saling membantu, saling meringankan beban sesama, gotong royong memecahkan masalah bersama.

Dimana-mana orang saling bertegur sapa, dengan keramahan yang otentik dari lubuk hati mereka yang terdalam, bagai kehidupan koloni semut yang selalu saling bertegur sapa setiap berjumpa dengan siapa saja.
Kebahagiaan itu bertambah sempurna dengan suasana religius yang menggambarkan kedekatan warga dusun dengan Sang Pemilik Kehidupan. Lelaki, perempuan, bocah-bocah berduyun-duyun pergi ke masjid dan langgar setiap petang dan menjelang pagi hari untuk sholat jamaah maghrib, isyak dan Subuh.


Anak-anak yang mengaji di serambi masjid dan langgar di antara waktu maghrib dan Isyak. Belum lagi dengan berbagai jenis kegiatan keagamaan lainya seperti jamaah fida’, tahlil dan yasinan, istigotsahan, berjanjen, manakiban, khataman alquran, serta pengajian-pengajian lainya seperti pengajian muslimat, ansor, pengajian umum setiap bulan Suro dan Rajab yang mengundang kyai dari pesantren pesantren.


***

Tetapi, keadaan yang ayem tentrem bagai pantulan cahaya surga itu berangsur-angsur berubah. Sejak, setiap rumah memiliki TV sendiri, pelan-pelan cara memandang kehidupan warga dusun pun berubah. Kalau dulu, kyai dan bu nyai pesantren adalah duta kebudayaan warga dusun, sekarang artis-artis sinetron dan penyanyi lah yang menjadi duta kebudayaan mereka.
Kalau dulu hidup itu mestilah sederhana dan bersahaja saja, yang penting bermanfaat sebanyak-banyaknya buat sesama. Toh, hidup mung sekedar mampir ngombe.
Sekarang pandangan hidup itu pun bergeser, bahwa hidup itu harus sukses, dan sukses itu bila bisa tampil cantik dan ganteng dengan berpakaian bermerek, sambil menenteng tas seharga ratusan juta rupiah dan naik mobil mewah.
Mainannya gadged mahal keluaran terbaru, untuk selfie dan pamer di media sosial. Rumahnya besar bertingkat, pagarnya tinggi, lengkap dengan perabotan-perobatan rumah super mahal.

Warga dusun yang dulu hidup qanaah, bisa hidup bahagia, ayem tentrem dengan bertani, kini tak bisa lagi. Takdir sebagai petani dipandang sebagai kesialan hidup yang harus dirubah sekuat tenaga. Belum lagi, hasil pertanian yang semakin tidak bisa diandalkan.
Orang dusun diajari, lebih tepatnya dibodohi menggunakan pupuk dan pestisida dari bahan kimia secara berlebihan, akibatnya tanah kehilangan kesuburan alaminya, dan hama malah semakin tak bisa dikendalikan. Bagai pecandu narkoba, para petani pun sulit lepas dari ketergantungan bahan kimia yang semakin mahal itu.
Akibatnya dari tahun ketahun, hasil panen bukanya naik tetapi malah semkin merosot tajam. Nasib buruk diperparah dengan permainan harga para tengkulak yang mengakibatkan harga selalu jatuh setiap musim panen tiba, serta kebijakan pemerintah yang tak pernah berpihak pada nasib petani.

Sungguh, sulit hidup sebagai petani di dusun, lebih sulit lagi hidup sebagai buruh tani yang tidak memiliki sawah garapan. Tanahnya semakin menyempit, jumlah penduduk semakin melangit, kehidupan pun semakin sulit. Warga dusun semakin yakin bahwa takdir sebagai petani adalah kesialan hidup yang harus segera dihentikan.
Beberapa orang masih sabar dengan keadaan yang semakin sulit itu. Sesulit apapun, jika dijalani dengan ridho, perjalanan hidup akan terasa nikmat. Kalaupun, susah di dunia, mereka masih punya harapan akan kehidupan di kampung akhirat, yang abadan abadin, abadi selama-lamanya.

Tetapi, tidak sedikit yang tidak sabar karena keadaan. Akhirnya memilih untuk bekerja ke luar kabupaten, ke kota-kota besar di Indonesia atau ke luar negeri sekalian. Ada yang berhasil, tapi tidak sedikit yang pulang hanya membawa malu. Yang berhasil bisa pulang membangun rumah besar magrong-magrong, lengkap dengan pagar tembok yang tinggi, dan setiap lebaran bisa pamer sedan mewah keluaran terbaru.

Tetapi, tidak sedikit pula yang bernasib mengenaskan. Banyak perempuan-perempun desa itu, pulang-pulang bawa cucu untuk emaknya tanpa jelas siapa bapaknya. Tidak sedikit pula yang pulang-pulang dalam kondisi sekarat, bahkan hanya tinggal nama. Bahkan ada juga yang puluhan tahun pamit bekerja tapi tidak pernah pulang dan tidak tidak jelas keberadaanya.
Kang Gimin termasuk salah satu yang beruntung. Setelah menjual sepetak tanah satu-satunya dari warisan bapaknya itu, Kang Gimin memutuskan untuk menjadi TKI (Tenaga Kerja indonesia)di Malaysia. Kang Gimin betekad tidak akan pulang sebelum sukses.

Pulang pertama, setelah 3 tahun, Kang Gimin bisa membangun rumahnya yang sederhana itu menjadi rumah mewah layaknya rumah para artis penyanyi yang sering dipamerkan di acara infotainmen. Untung membangun pagar rumahnya saja, menghabiskan ratusan juta rupiah.

Pulang kedua, setelah 6 tahun, Kang Gimin bisa membeli beberapa hektar tanah dan tegalan. Sepetak tanah yang dijualnya dulu, kini bisa dibelinya kembali, bahkan beranak pinak menjadi jauh lebih luas. Tanah-tanah beberapa hektar itu, digarap oleh saudara-saudara Kang Gimin termasuk Lek Mardi. Kang Gimin, tak meminta sedikit pun dari hasil sawahnya itu.

Terkahir, setalah 9 tahun di Malaysia, Kang Gimin untuk tidak kembali ke Malaysia lagi. Sebuah mobil seharga lebih setengah milyar kini sudah berkandang di garasi rumahnya. Sebuah toko, yang menjual segala kebutuhan hidup ala orang kota untuk warga dusun pun sudah berdiri di samping rumahnya. Lengkap dengan jasa isi ulang air galon dan isi pulsa.

Rupanya, warga dusun yang dulu cukup bersyukur dengan minum air kendi, sekarang setiap rumah sudah punya dispenser. Warga dusun yang dulu suka mandi berjamaah di sungai, sekarang sudah mandi pakai air PDAM yang sudah masuk dusun.
Tidak hanya punya rumah, mobil, sawah, dan toko, Kang Gimin dalam waktu dekat, tepatnya di bulan haji yang akan datang ini juga berangkat haji bersama Yu Marni istrinya. Setelah, beberapa waktu sebelumnya, berangkat umroh sekeluarga bersama ketiga anaknya. Sungguh, paripurna betul kehidupan Kang Gimin.

Lain halnya dengan nasib lek Mardi, adek kandung Kang Gimin. Melihat kesuksesan kakangnya, lek Mardi yang semula keukeuh ingin nerimo in pandum menjalani nasibnya sebagai petani di dusun, akhirnya kegi, kepincut juga. Di jual lah sepetak tanahnya itu, untuk modal keberangkatanya sebagai TKI di Malaysia, di agen yang sama dengan yang telah membantu Kang Gimin.
Sama dengan Kang Gimin, Lek Mardi pun bertekad tidak akan pulang sebelum sukses. Meskipun berat sekali rasanya meninggalkan Lastri, istrinya yang cantik nan semlohe yang amat dia cintai, dan Si Genduk Suketi, anak semata wayang nya yang sedang lucu-lucunya itu.
Tetapi, ternyata bekerja sebagai buruh pabrik di Malaysia tak semudah dan seindah yang dibayangkan oleh Lek Mardi. Gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk biaya hidup sendiri, dan sebagian dikirim tiap bulanya lewat Western Union, untuk biaya hidup Lastri dan Si Genduk Suketi.

Lek Mardi jadi bertanya-tanya, kok nasibnya tak seindah nasib Kang Gimin. Kok ternyata mencari duit di Malaysia, tak semudah yang dia bayangkan seperti pada Kang Gimin, yang seolah duit di Malaysia itu tinggal nyawuk saja.
Lek Mardi mencoba menguatkan hatinya, untuk bersabar. Walaupun, berkali-kali Lek Mardi nyaris putus asa ingin pulang saja. Lha wong, habis bulan habis gaji.

Tetapi, bayangan cemoohan tetangga jika pulang tidak membawa apa-apa, membuat dengan sangat terpaksa tetap bertahan. Lek Mardi, menyisihkan sedikit gajinya untuk ditabung, seringgit dua ringgit dimasukkanya dalam celengan.
Di akhir tahun ketiga, karena rindu yang tak tertahan, saat lebaran, Lek Mardi memutuskan untuk pulang kampung untuk kemudian kembali lagi ke Malaysia. Walaupun belum berhasil membangun rumah, setidaknya Lek Mardi mampu membeli sebuah motor bebek keluaran terbaru masih gres dari toko dibayar kontan. Setidaknya, lek Mardi tidak terlalu malu, jika dibanding-bandingkan dengan kesuksesasan Kang Gimin. Saat ditanya tetangganya : ” Kapan ki, omahe dibangun? “, Lek Mardi masih bisa berkelit dengan menjawab: ” iyo sedilut engkas, insya Allah nyuwun dungane “.
Walaupun dalam hati Lek Mardi sebenarnya perih sekali, dibanding-bandingkan dengan kesuksesan Kang Gimin, kakangnya sendiri itu.

Entah mengapa, kini hubungan keluarga Lek Mardi dan Kang Gimin agak ada jarak. Seolah ada perang dingin antara kedua keluarga yang dulu sangat guyub itu. Dulu, lek Mardi biasa keluar masuk rumahnya Kang Gimin layaknya rumah sendiri. Makan di dapur pun tak perlu disuruh, begitu juga sebaliknya. Entahlah, sejak rumah Kang Gimin ditembok tinggi, seolah rumah itu menjadi sangat menakutkan.
Buat Lek Mardi, rumah Kang Gimin sekarang tak senyaman yang dulu. Lek Mardi merasa hatinya panas sekali setiap kali memasuki rumah kakangnya itu.

Setelah lebaran ketupat usai, Lek Mardi akhirnya kembali lagi ke Malaysia. Kini Si Genduk Suketi kalau sekolah tak lagi naik ontel sendiri, tetapi diantar jemput oleh Yu Lastri dengan motor bebek yang masih kinyis-kinyis itu. Kalau ke kota kecamatan, ke kantor pos untuk mengambil kiriman uang Lek Mardi, Yu Lastri tak lagi meminjam sepeda motor tetangganya.
Begitu pula, saat ada kumpulan wali murid di sekolah Genduk Narti, kini Yu lastri tak perlu menekuk mukanya, tetapi sudah bisa mengangkat mukanya dan tersenyum lebar. Pokoknya, dengan sepeda motor baru itu, kini Yu Lastri merasa level gengsi kehidupanya sudah naik beberapa derajat.

Hingga peristiwa yang naas itu terjadi. Yu lastri menagis mberok-mberok, sejadi- jadinya di parkiran motor Kantor Pos Kecamatan. Setelah mengambil uang kiriman dari suaminya, Yu Lastri kaget dan terpukul luar biasa, karena motor kesayanganya itu raib tanpa jejak. Seperti peristiwa yang sudah-sudah, setiap pencurian motor, harapan motor itu kembali hanya 0.001 persen.
Semenjak kehilangan motor itu, Yu lastri menjadi lunglai, nyaris kehilangan semangat hidup berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Kesedihan yang teramat dalam. Ngenes bin trenyuh, melihat Genduk Suketi harus ke sekolah ngontel kembali. Malu rasanya, kalau bepergian agak jauh, harus meminjam motor tetangganya kembali.

Lek Mardi mendengar kabar kehilangan motor itu pun sangat terpukul, ngelokro. "Oalah direwangi, urip prihatin bertahun-tahun nang kene, cek supoyo iso tuku motor, eh motore diilangne, Hoalah, nasib-nasib"..Keluh Lek Mardi. Tetapi, kecintaan Lek Mardi pada Yu Lastri, segera memulihkan keadaan, apalagi setelah dapat kabar, Yu Lastri hamil muda. Hasil hubungan waktu pulang lebaran kemaren. Semangat lek Mardi jadi berkobar-kobar.

Demi mengumpulkan tabungan, Lek Mardi rela bekerja ngelembur. Siang dan malam, sabtu dan minggu pun tetap semangat bekerja. Makan pun, ala kadarnya, asal perut kenyang, yang penting uang tabungan semakin menumpuk. Lumayan, uang lemburan itu membuat gaji buruh pabrik lek Mardi naik dua kali lipat. Ditabungkanya uang itu, disisihkan sendiri dari uang bulanan yang harus lek Mardi kirim untuk Yu Lastri, Genduk Suketi, dan calon anak keduanya.

Bulan, berganti bulan, tahun berganti tahun, tak terasa sudah hampir lima tahun Lek Mardi menjadi TKI. Lek Mardi tersenyum bangga, melihat print out buku tabunganya. “ Alhamdulilah, ini sudah lebih dari cukup untuk membangun sebuah rumah ” batin Lek Mardi. Karenanya, lebaran yang tinggal sebulan lagi, Lek Mardi berencana pulang. Di hari lebaran nanti berencana membeli motor baru lagi, terus membongkar total rumahnya yang lama.
Hingga, malam-malam di bulan Ramadlan menjelang lebaran itu pun datang. Selama bulan Ramdalan, Lek Mardi, bahkan rela meninggalkan sholat taraweh, meninggalkan tadarussan demi mengejar lemburan. Parahnya lagi, Lek Mardi, pernah kepergok oleh temanya makan roti di siang hari. Perutnya kelewatan lapar katanya.

Sehari menjelang lebaran, Lek Mardi sampai di dusun Ringinpitu. Betapa bahagianya lek Mardi bisa berkumpul kembali dengan keluarganya, apalagi dengan putra keduanya, Tole Bagus, yang baru pertama kalinya dia lihat langsung. Rasanya, kerja sangat kerasnya selama ini terbayar sudah.

Tetapi, nasib malang datang tanpa diundang. Saat Lek Mardi hendak mandi sholat hari raya, tubuhnya roboh di kamar mandi. Darah segar mengalir dari mulut lek Mardi. Yu Lastri girap-girap, panik tidak karuan. Kedua anaknya tetangisan. Kang Gimin, mengantarkan Lek Mardi ke Rumah Sakit di kecamatan, lalu dirujuk ke Rumah Sakit di Kabupaten.
Lek Mardi, divonis terkena kanker hati. Dan harus menjalani kemoterapi. Ludes sudah uang tabungan Lek Mardi yang sedianya mau digunakan untuk membeli motor baru dan membangun rumah itu. Oalah nasib mu, Lek-lek ..


**


Alhamdulilah, akhirnya lek Mardi kembali pulih, berangsur-angsur tubuh Lek Mardi sehat kembali. Sebuah kebahagiaan yang tiada terkira, nikmat hidup sehat, meskipun tidak memiliki kemewahan hidup.
Walaupun sudah terpuruk dua kali, Lek Mardi seolah tak merasa kapok untuk pergi kembali ke Malaysia. Sebenarnya, bukanya tidak kapok, tapi sungguh dia merasa tidak memiliki pilihan lain untuk memperbaiki nasib hidup. Dia teringat kata-kata motivator di TV, bahwa setiap orang punya jatah gagal, maka habiskanlah jatah gagal itu, untuk akhirnya meraih keberhasilan. Kata-kata motivator TV yang seperti sabda nabi itu, memulihkan semangat hidupnya.

Lek Mardi, kembali lagi menjadi TKI ke Malaysia. Kali ini mencoba peruntungan lain, di sektor pertanian yang katanya lebih menjanjikan. Lek Mardi, merasa menemukan kehidupanya kembali sebagai petani, karena setiap hari dia mengurus tanaman sayur-sayuran, untuk komoditas ekspor.

Tapi, lagi-lagi nasib Malang menerpanya. Di tahun kedua Lek Mardi bekerja di sektor pertanian itu, Lek Mardi tertangkap polisi Raja Diraja Malaysia, dengan tuduhan TKI Ilegal. Lek Mardi tak bisa menunjukkan paspor dan visa yang ditahan oleh majikanya yang kabur begitu saja. Sejak itu, tak terdengar lagi kabar Lek Mardi entah dimana, tidak ada yang tahu. Nomor telponya pun tak bisa dihubungi.
Ketidakjelasan nasib Lek Mardi menjadi gunjingan warga dusun Ringinpitu. Yu Lastri terpukul berat dengan kejadian itu. Yu Lastri berusaha menghindar setiap kali bertemu dengan warga dusun yang lain.

Tetapi, hari itu warga dusun Ringinpitu menjadi gempar sekali. Oalah gusti, Yu Lastri ketangkep selingkuh di rumahnya dengan salah seorang pegawai desa. Perselingkuhan itu tertangkap basah dan digerebek oleh warga.

Berita hilangnya kabar Lek Mardi, dan perselingkuhan Yu Lastri dengan pegawai desa itu menjadi Gosip, menjadi rasan-rasan yang menyebar ke seluruh warga dusun bahkan warga sedesa. Setiap orang seolah berubah menjadi presenter acara infotainment yang mulutnya begitu tajam, tajam sekali, seperti sembilu yang menyayat-nyayat hati Yu Lastri.

Di balik jeruji Penjara Raja Diraja Malaysia, di pojok ruangan yang pengab itu, Lek Mardi yang rambutnya sudah gundul, badanya kurus, matanya cekung meratapi nasibnya. Oalah, nasib-nasib. Diam-diam nurani kecil hatinya, merindukan suasana dan nuansa dusunnya dulu saat masih dibalut kesederhanaan dan kebersahajaan hidup.
Diam-diam hatinya merutuki jebakan iming-iming kemewahan dunia, yang telah membuat suasana dan nuansanya dusunya menjadi panas bagai terkena pantulan panasnya neraka jahanam, suasana hati penuh iri dengki, karena setiap orang berusaha memamerkan kemewahan hidup.

Diam-diam hatinya teringat nasihat emboknya dulu, sebuah filosofi tentang rejeki. Bahwa setiap orang itu punya ukuran takeran rizki masing-masing, yang sudah ditetapkan ukuranya pada setiap jabang bayi yang lahir.
Kalau ukuran nya cuman sak batok, mau dikasih beras satu ember pun, pasti akan tumpah. Begitu juga dengan rizki. Kalau memang rejeki mu kecil, ya tidak usah iri dengan rizki orang lain yang memang ukuranya sudah ditetapkan jauh lebih besar.
Memang, kita tidak akan pernah tahu seberasa besar takeran rizki kita sebelum kita berusaha keras sekuat tenaga. Tetapi, kita semestinya juga sadar, sekeras-kerasnya ikhtiar,tidak akan pernah mampu menembus dinding-dinding takdir. Seseorang bisa saja meniru sama persis cara orang lain mencari rizki, tetapi jumlah rizki yang diperoleh adalah persoalan lain.


Sebenarnya, bukan besar-kecilnya takeran rizki kita yang menjadi masalah, tetapi usaha untuk mengetahui seberapa besar takeran rizki kita dan ridlo tidaknya terhadap berapapun ukuran takeran reziqi kitalah yang akan menjadi persoalan.
Bukankah, semua yang kita miliki pada hakikatnya tak lebih dari sebuah titipan? Yang sewaktu-waktu pasti akan diambil kembali oleh sang pemilik titipan, tanpa sempat kita bertanya mengapa dan untuk apa Tuhan menitipkanya kepada kita?

Anda mungkin menyukai postingan ini

Terima kasih telah membaca Rejeki Sudah Ada Yang Mengatur , Manusia Yang Kurang Bersyukur (Kisah Kang Gimin dan Lek Mardi) , Dapatkan Update dari PanjiNawangkung di Google News Dengan klik LINK/GAMBAR DIBAWAH INI dan jangan lupa FOLLOW
Image
  1. Untuk menyisipkan sebuah kode gunakan <i rel="pre">code_here</i>
  2. Untuk menyisipkan sebuah quote gunakan <b rel="quote">your_qoute</b>
  3. Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image">url_image_here</i>

DMCA.com Protection Status

Page Load Time...

Nih buat jajan